Picture
Oleh Salahuddin Wahid

Bangsa Indonesia adalah hasil perjuangan bersama warga bernasib sama di wilayah Nusantara: dijajah oleh Belanda. Mereka hidup miskin, tidak mendapat pendidikan, tidak mempunyai hak sama dengan warga Belanda dan kaum priayi. 

Kekayaan alam Indonesia diisap oleh Belanda selama ratusan tahun. Dengan cultuurstelsel, Belanda memanfaatkan tanah di Nusantara untuk menghasilkan produk-produk yang dikirim ke Belanda, lalu dijual dan menghasilkan uang yang amat besar. Menurut Bung Karno, mengutip dari Prof van Gelderen, Kepala Central Kantoor voor de Statistiek, dalam pidato ”Indonesia Menggugat” (1930), kekayaan yang diangkut dari Indonesia per tahun setidaknya mencapai 1,5 miliar gulden (dalam nilai sekarang mungkin 50 miliar euro atau sekitar Rp 600 triliun).


 
Picture
Oleh : Quraish Shihab

Korban dalam bahasa Indonesia ada dua makna, korban bisa jadi disakiti, bisa jadi hatinya atau badannya, dia dikorbankan. Korban juga berarti ketulusan, persembahan, persembahan kepada siapapun, apalagi kepada Allah, tidak bisa kalau tidak disertai dengan ketulusan. Orang yang dikorbankan mestinya menimbulkan rasa sedih di hati kita, tapi kesedihan itu baru muncul kalau hati anda lembut, kalau hatinya keras tidak peduli. Dari sini korban dalam bahasa Indonesia diartikan dengan ketulusan, pengabdian, atau yang disakiti, yang dikorbankan.

Tapi dalam bahasa Al Quran, pengertian korban bukan dalam pengertian yang disakiti, tapi korban lebih banyak diartikan persembahan, qurb itu artinya dekat, kalau sesuatu yang berharga anda persembahkan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah itu kurban. Dalam Idul Adha, memang ada kata yang juga diartikan korban terambil dalam kata adha ini, karena itu tadi, seorang atau sesuatu yang terlukai itu mestinya menimbulkan rasa iba kepadanya dan pada akhirnya anda akan merasakan sakit sebagaimana sakitnya yang dikorbankan, itu pengertian kebahasaan.


 
Picture
Oleh: Prof Azyumardi Azra

Suatu Senin siang, hari terakhir April 2012. Di pelataran Perpustakaan Charles E Young, UCLA, sambil menunggu pertemuan dengan Profesor Khaled Abou Fadl dan Profesor Poo Nawala, saya mengamati pengunjung perpustakaan yang keluar masuk. Sambil iseng, saya menghitung dalam hati jumlah mahasiswi yang menggunakan jilbab.

Selama sekitar setengah jam duduk di pinggir pelataran perpustakaan, saya mencatat dalam hati ada empat mahasiswi berjilbab; ada yang berkulit hitam, sawo matang, dan juga putih. Empat jelas bukan jumlah banyak; sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan begitu banyaknya mahasiswi lain yang lalu lalang tak berjilbab; atau bahkan berpakaian seadanya karena Los Angeles yang kian panas menjelang summer.


 
Picture
Oleh: Prof. Dr. Nasaruddin Umar

Kalau teman-teman membaca di internet khususnya di dunia spiritual, sedang ada satu tren yang sebetulnya ini adalah konsep agama tapi dikemas dalam bentuk konsep manajemen, yaitu The Power of We. Dalam kalimat ini, kata We memang perlu dijadikan satu budaya kerja di lingkungan perusahaan.

Di Amerika, Bill Gates suatu waktu memberikan ceramah umum yang luar biasa. Ia menyebutkan pola-pola sukses yang dilakukannya dalam memanaj perusahaan Microsoft yang dipimpinnya, yang sebenarnya merujuk kepada manajemen kenabian (prophetic management). Kata kunci yang harus dipegang, menurutnya, adalah The Power of We. Jadi, kita hilangkan istilah ”I” (aku) dan yang ada adalah ”We” (kita), demikian semangat yang terusung dalam pernyataan ”Kita dan Perubahan”.