Picture
_Oleh Chairu D. Arianto

SINERGI- ialah tema kegiatan yang diambil dalam kegiatan outing and haking yang dilakukan belum lama ini bertempat di Gn.Nglanggeran, Patuk, Gunung Kidul. Kegiatan yang melibatkan seluruh aspek organisasi muda di dusun kecil bernamakan Niten ini, sangat mendapat respon positif dari seluruh peserta yang ikut dalam kegiatan. Jatuh-bangun, capek, sakit, kulit terasa terlukis oleh benda-benda yang sedikit menimbulkan luka, hingga ingin mengulangnya lagi dikemudian hari adalah segelintir celotehan yang terdengar dari mulut peserta yang telah berhasil sampai puncak dan kembali lagi ke posko awal sebelum pendakian dimulai.


_Menilik kebelakang dan sedikit mengupas lebih jauh sebagai prolog terselenggaranya kegiatan tersebut, bahwa pada hakekatnya, manusia adalah suatu kemerdekaan di dalam keterbatasan, dia dilemparkan ke dunia tanpa tahu asal-usulnya (lihat: Arief Budiman, hlm. 98). Oleh karena itu, kita akan mengenal siapa kita, setelah kita tahu sejarah. Kita akan tahu segala yang lahir, hidup, mati, beserta beribu kejadian yang mungkin telah terjadi disekitar, setelah kita coba menggali dan membiarkan keingin-tahuan yang ada dalam diri mengupas sejarah yang ada. Lalu, apabila muncul sebuah pertanyaan: Bagaimana kalau kita termasuk dalam subjek sejarah itu? Nah, mungkin itulah yang sedang kita lakukan beberapa waktu kemarin. Sadar atau tidak, dan mau tidak mau, kita telah terhimpit oleh peran teknologi yang semakin lama semakin menggerus sisi ke-manusiaan kita sebagai manusia. Karena tidak bisa dipungkiri juga bahwa, selain memberikan efek positif, peranan teknologi juga telah banyak memberikan ketergantungan negatif pada diri rekan muda. Berdasar beberapa pertimbangan tersebutlah SINERGI; outing and haking muncul sebagai jawaban agar rekan muda kembali mengenal dirinya dengan berkaca pada alam dan setiap detiknya tidak selalu bergantung pada “permainan/kegiatan” yang berbalutkan nama teknologi.

Nglanggeran, 23 Desember 2012 :
“…Horeee..aku sudah sampai puncaknya!!”
Jerit lantang se-kawanan bocah dengan wajah berbinar-binar, terdengar--terlihat ketika mereka telah berhasil mencapai puncak gunung purba, Nglanggeran. Mereka tak pernah diam. Rasa ingin-tahu yang begitu besar, mampu menggerakkan kepala ke kanan-ke kiri sambil sesekali matanya melirik liar, minikmati lukisan alam yang telah disuguhkan oleh Maha Gusti yang luar biasa dan mungkin baru pertama kali mereka lihat. Pagi itu, kabut masih menyelimuti tebing-tebing liar yang menjulang seperti menampakkan bangunan pondasi-pondasi langit yang berdiri kokoh, ditambah udara yang sangat segar di atasnya, mampu memberikan stimulan positif kepada tubuh yang mulai merasa lelah. Meski rasa capek tak bisa ditutupi, namun wajah bersinar dan berbinar tak bisa membohongi kalau mereka juga telah mencapai fase kepuasaan karena telah sampai kepada tujuan yang telah ditentukan atau disepakati bersama. Hal itu juga seperti yang disampaikan Ortega y. Gasset (10. 40-41) berbunyi, hidup selalu berarti bahwa kita telah mendapatkan diri kita dalam keadaan memiliki kemungkinan-kemungkinan yang dapat kita pilih. Hal ini dapat diartikan pula bahwa banyak yang telah terjadi dalam diri kita, namun kita lebih berhak menjalaninya dengan menjadi diri kita yang apa adanya/ dengan kata lain: sesuai dengan jalan yang kita pilih meski dengan tujuan yang sama.

Kegiatan tersebut telah sedikit banyak memberikan asupan positif pada diri bahwa, sebagai makhluk yang selalu berdampingan dengan alam, kita harus juga mengenal alam dengan beribu rahasianya.

Apa yang dapat kita lakukan untuk menjaga kelestarian alam ini? “Pekik seorang bocah yang tiba-tiba menggelegar dengan pertanyaan.”
Kurasa ini menjadi pertanyaan yang bagus, dengan sedikit banyak kita berkaca pada seringnya bencana yang telahir dari alam dan itu tersebab oleh ulah manusia. Bisa saya ambilkan contoh dari kutipan mas Kukuh SW yang mengambil istilah dari Eric Wilner, dalam The Geography of Bliss: One Grump’s Search for the Happiest Places in the World yang berbunyi : “Orang-orang di Amerika Serikat tidak mencemari lingkungan sebagian karena takut didenda. Orang-orang di Bhutan tidak mencemari lingkungan karena mereka takut kepada dewata rumah kaca”. Nah mungkin dari Istilah ini dapat pula ditambahkan bahwa, “Orang-orang kita (rekan muda:niten) tidak mencemari lingkungan karena mereka menganggap alam adalah seorang sahabat, sehingga takut melukai hatinya”.

  Itulah secarik oleh-oleh dari gunung purba Nglanggeran. Gunung dengan beribu pesonannya, Gunung yang telah berbagi nikmatnya dengan kita, serta Gunung yang telah menjelma jadi sahabat. Semoga ini dapat menjadi titik awal untuk lebih semangat “berburu” sahabat, berwujud Alam. Inilah bingkisan dari Aku, Kami, dan Kita; untuk sebuah sejarah.

Gn. Nglanggeran, 23 Desember 2012



Leave a Reply.